Penyakit autoimun juga disebut penyakit rheumatoid adalah, penyakit
sistemik kronis yang mempengaruhi seluruh tubuh. Mereka hasil dari
serangan oleh sistem kekebalan tubuh pasien pada beberapa bagian tubuh
sendiri. Penyakit ini menyebabkan banyak peradangan dan kerusakan sel
dalam jaringan mereka menyerang. Penghancuran ini memiliki konsekuensi
kesehatan yang sangat serius. Tergantung pada penyakit pasien memiliki,
tulang, saraf, kelenjar, dan organ penting lainnya dapat dihancurkan.
Beberapa autoimun penyakit-rheumatoid arthritis lebih-umum, Sindrom
Sjögren, lupus eritematosus sistemik, dan multiple sclerosis-berhubungan
dengan gejala mata berat. Sebagian besar penyakit autoimun adalah
gender yang terkait dan biasanya jauh lebih umum pada wanita. Misalnya,
dari juta atau lebih penderita Sjögren di AS, 90% adalah perempuan. Lain dari penyakit autoimun, tipe 1 atau insulin-dependent diabetes,
menyebabkan komplikasi pada mata, melainkan ditutupi secara terpisah
sebagai retinopati diabetes.
Mengapa sistem kekebalan menyerang sel-sel tubuh sendiri?
Sistem kekebalan tubuh bekerja dalam dua langkah, yaitu membedakan sel-sel asing dengan sel-sel tubuh sendiri dan mengambil tindakan terhadap sel-sel asing. Jika langkah pertama tidak beres, maka ada dua kemungkinan. Pertama, sistem kekebalan tubuh diredam dan tubuh tidak lagi mengenali patogen asing. Ini adalah kasus pada AIDS di mana sistem kekebalan tubuh melemah. Kedua, sistem kekebalan tidak diredam sehingga menyerang sel-sel tubuh sendiri maupun sel-sel asing tanpa kecuali. Ini adalah kasus pada penyakit autoimun. Sistem kekebalan tubuh Anda menjadi benar-benar di luar kendali.
Meskipun telah dilakukan banyak riset yang intensif, para ahli belum berhasil mengetahui secara pasti penyebab penyakit autoimun. Namun, diketahui bahwa ada sejumlah faktor risiko yang berperan. Selain kecenderungan genetik, infeksi dan faktor lingkungan turut berperan penting sebagai pemicu penyakit autoimun.
Genetik. Penyakit autoimun cenderung diwariskan dalam keluarga. Pada studi kembar diketahui bahwa jika seorang kembar identik menderita penyakit autoimun, kembarannya kemungkinan 30 – 50 persen juga menderita penyakit yang sama. Tapi tidak 100 persen, yang berarti bahwa gen tidak sepenuhnya bertanggung jawab atas timbulnya penyakit. Seringkali, penderita dapat mengkompensasi cacat genetik dan dia hidup normal tanpa penyakit autoimun.
Infeksi. Sistem kekebalan yang rapuh dapat rusak oleh faktor pemicu seperti infeksi virus. Hal ini mungkin terjadi karena kelemahan genetik menyebabkan sistem kekebalan tubuh tidak dapat mengatasi virus tertentu. Mereka kesulitan membedakan protein virus dengan protein tubuh dan menyerang keduanya, seperti tentara yang tidak bisa membedakan pasukan musuh dan rakyat sehingga menembaki keduanya. Virus Epstein – Barr diduga menjadi pemicu multiple sclerosis. Pemicu lain adalah virus Coxsackie, yang juga diduga memicu diabetes tipe
Lingkungan dan makanan. Dibandingkan dengan nenek moyang kita, kita jauh lebih banyak terpapar oleh berbagai zat kimia yang membanjiri sistem kekebalan tubuh kita. Ketika sel-sel kekebalan di dalam usus menyortir setiap zat yang kita makan apakah berbahaya dan tidak, kemungkinan terjadi kesalahan meningkat. Penyakit autoimun dapat terjadi melalui reaksi kebingungan terhadap zat yang masuk, apakah berbahaya atau tidak. Rotavirus sangat mirip dengan molekul fotoreseptor tertentu di mata. Kebingungan ini diduga menyebabkan uveitis, yang pada akhirnya dapat merusak penglihatan.
Gejala Klinis
Terdapat berbagai gejala klinis pada kulit akibat penyakit autoimun, diantaranya penyakit kulit, termasuk rasa gatal dan menggaruk yang menetap, lesi, luka, lepuh dan kerusakan kulit lainnya serta kehilangan pigmen kulit. Terdapat dua kasus penyakit autoimun yang sering ditemukan yaitu Discoid lupus erythematosus (DLE) dan Pemphigus. Discoid lupus erythematosus dapat berkembang menjadi Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
Tahap awal DLE ditandai kehilangan pigmen kulit, kulit menjadi merah dan luka pada hidung . Palatum-nasale yang seharusnya kasar menjadi halus, selain itu dapat terjadi erosi, ulserasi, dan luka pada palatum nasale, nostril, cuping hidung, sekitar mata dan telinga. Bekas-bekas luka dapat ditemukan pada kasus kronis dan parah. Lesi Pemphigus vulgaris biasanya sangat jelas ditemukan pada rongga mulut. Kadangkala gejala ditandai dengan limpadenopati, tidak mau makan, kelemahan, demam dan sepsis. Pemphigus foliaceus biasanya menyerang telinga dan wajah. Gejala awal ditandai dengan depigmentasi pada palatum nasale, celah pada dorsal mulut, periokular dan telinga, gatal, rasa sakit dan kelemahan tubuh dapat ditemukan pada kasus-kasus tertentu.
DIAGNOSA
Pemeriksaan darah yang menunjukkan adanya radang dapat diduga sebagai gangguan autoimun. Misalnya, pengendapan laju eritrosit (ESR) seringkali meningkat, karena protein yang dihasilkan dalam merespon radang mengganggu kemampuan sel darah merah (erythrocytes) untuk tetap ada di darah. Sering, jumlah sel darah merah berkurang (anemia) karena radang mengurangi produksi mereka. Tetapi, radang mempunyai banyak sebab, banyak diantaranya yang bukan autoimun. Dengan begitu, dokter sering mendapatkan pemeriksaan darah untuk mengetahui antibodi yang berbeda yang bisa terjadi pada orang yang mempunyai gangguan autoimun khusus. Contoh antibodi ini ialah antibodi antinuclear, yang biasanya ada di lupus erythematosus sistemik, dan faktor rheumatoid atau anti-cyclic citrullinated peptide (anti-CCP) antibodi, yang biasanya ada di radang sendi rheumatoid. Tetapi antibodi ini pun kadang-kadang mungkin terjadi pada orang yang tidak mempunyai gangguan autoimun, oleh sebab itu dokter biasanya menggunakan kombinasi hasil tes dan tanda dan gejala orang untuk mengambil keputusan apakah ada gangguan autoimun.
PENGOBATAN
Pengobatan memerlukan kontrol reaksi autoimmune dengan menekan sistem kekebalan tubuh. Tetapi, beberapa obat digunakan reaksi autoimmune juga mengganggu kemampuan badan untuk berjuang melawan penyakit, terutama infeksi.
Obat yang menekan sistem kekebalan tubuh (imunosupresan), seperti azathioprine, chlorambucil, cyclophosphamide, cyclosporine, mycophenolate, dan methotrexate, sering digunakan, biasanya secara oral dan seringkal denganjangka panjang. Tetapi, obat ini menekan bukan hanya reaksi autoimun tetapi juga kemampuan badan untuk membela diri terhadap senyawa asing, termasuk mikro-jasad penyebab infeksi dan sel kanker. Kosekwensinya, risiko infeksi tertentu dan kanker meningkat.
Sering, kortikosteroid, seperti prednison, diberikan, biasanya secara oral. Obat ini mengurangi radang sebaik menekan sistem kekebalan tubuh. KortiKosteroid yang digunakan dlama jangka panjang memiliki banyak efek samping. Kalau mungkin, kortikosteroid dipakai untuk waktu yang pendek sewaktu gangguan mulai atau sewaktu gejala memburuk. Tetapi, kortikosteroid kadang-kadang harus dipakai untuk jangka waktu tidak terbatas.
Ganggua autoimun tertentu (misalnya, multipel sklerosis dan gangguan tiroid) juga diobati dengan obat lain daripada imunosupresan dan kortikosteroid. Pengobatan untuk mengurangi gejala juga mungkin diperlukan. Etanercept, infliximab, dan adalimumab menghalangi aksi faktor tumor necrosis (TNF), bahan yang bisa menyebabkan radang di badan. Obat ini sangat efektif dalam mengobati radang sendi rheumatoid, tetapi mereka mungkin berbahaya jika digunakan untuk mengobati gangguan autoimun tertentu lainnya, seperti multipel sklerosis. Obat ini juga bisa menambah risiko infeksi dan kanker tertentu.
Obat baru tertentu secara khusua membidik sel darah putih. Sel darah putih menolong pertahanan tubuh melawan infeksi tetapi juga berpartisipasi pada reaksi autoimun. Abatacept menghalangi pengaktifan salah satu sel darah putih (sel T) dan dipakai pada radang sendi rheumatoid. Rituximab, terlebih dulu dipakai melawan kanker sel darah putih tertentu, bekerja dengan menghabiskan sel darah putih tertentu (B lymphocytes) dari tubuh. Efektif pada radang sendi rheumatoid dan dalam penelitain untuk berbagai gangguan autoimun lainnya. Obat lain yang ditujukan melawan sel darah putih sedang dikembangkan.
Plasmapheresis digunakan untuk mengobati sedikit gangguan autoimun. Darah dialirkan dan disaring untuk menyingkirkan antibodi abnormal. Lalu darah yang disaring dikembalikan kepada pasien. Beberapa gangguan autoimun terjadi tak dapat dipahami sewaktu mereka mulai. Tetapi, kebanyakan gangguan autoimun kronis. Obat sering diperlukan sepanjang hidup untuk mengontrol gejala. Prognosis bervariasi bergantung pada gangguan.
Mengapa sistem kekebalan menyerang sel-sel tubuh sendiri?
Sistem kekebalan tubuh bekerja dalam dua langkah, yaitu membedakan sel-sel asing dengan sel-sel tubuh sendiri dan mengambil tindakan terhadap sel-sel asing. Jika langkah pertama tidak beres, maka ada dua kemungkinan. Pertama, sistem kekebalan tubuh diredam dan tubuh tidak lagi mengenali patogen asing. Ini adalah kasus pada AIDS di mana sistem kekebalan tubuh melemah. Kedua, sistem kekebalan tidak diredam sehingga menyerang sel-sel tubuh sendiri maupun sel-sel asing tanpa kecuali. Ini adalah kasus pada penyakit autoimun. Sistem kekebalan tubuh Anda menjadi benar-benar di luar kendali.
Meskipun telah dilakukan banyak riset yang intensif, para ahli belum berhasil mengetahui secara pasti penyebab penyakit autoimun. Namun, diketahui bahwa ada sejumlah faktor risiko yang berperan. Selain kecenderungan genetik, infeksi dan faktor lingkungan turut berperan penting sebagai pemicu penyakit autoimun.
Genetik. Penyakit autoimun cenderung diwariskan dalam keluarga. Pada studi kembar diketahui bahwa jika seorang kembar identik menderita penyakit autoimun, kembarannya kemungkinan 30 – 50 persen juga menderita penyakit yang sama. Tapi tidak 100 persen, yang berarti bahwa gen tidak sepenuhnya bertanggung jawab atas timbulnya penyakit. Seringkali, penderita dapat mengkompensasi cacat genetik dan dia hidup normal tanpa penyakit autoimun.
Infeksi. Sistem kekebalan yang rapuh dapat rusak oleh faktor pemicu seperti infeksi virus. Hal ini mungkin terjadi karena kelemahan genetik menyebabkan sistem kekebalan tubuh tidak dapat mengatasi virus tertentu. Mereka kesulitan membedakan protein virus dengan protein tubuh dan menyerang keduanya, seperti tentara yang tidak bisa membedakan pasukan musuh dan rakyat sehingga menembaki keduanya. Virus Epstein – Barr diduga menjadi pemicu multiple sclerosis. Pemicu lain adalah virus Coxsackie, yang juga diduga memicu diabetes tipe
Lingkungan dan makanan. Dibandingkan dengan nenek moyang kita, kita jauh lebih banyak terpapar oleh berbagai zat kimia yang membanjiri sistem kekebalan tubuh kita. Ketika sel-sel kekebalan di dalam usus menyortir setiap zat yang kita makan apakah berbahaya dan tidak, kemungkinan terjadi kesalahan meningkat. Penyakit autoimun dapat terjadi melalui reaksi kebingungan terhadap zat yang masuk, apakah berbahaya atau tidak. Rotavirus sangat mirip dengan molekul fotoreseptor tertentu di mata. Kebingungan ini diduga menyebabkan uveitis, yang pada akhirnya dapat merusak penglihatan.
Gejala Klinis
Terdapat berbagai gejala klinis pada kulit akibat penyakit autoimun, diantaranya penyakit kulit, termasuk rasa gatal dan menggaruk yang menetap, lesi, luka, lepuh dan kerusakan kulit lainnya serta kehilangan pigmen kulit. Terdapat dua kasus penyakit autoimun yang sering ditemukan yaitu Discoid lupus erythematosus (DLE) dan Pemphigus. Discoid lupus erythematosus dapat berkembang menjadi Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
Tahap awal DLE ditandai kehilangan pigmen kulit, kulit menjadi merah dan luka pada hidung . Palatum-nasale yang seharusnya kasar menjadi halus, selain itu dapat terjadi erosi, ulserasi, dan luka pada palatum nasale, nostril, cuping hidung, sekitar mata dan telinga. Bekas-bekas luka dapat ditemukan pada kasus kronis dan parah. Lesi Pemphigus vulgaris biasanya sangat jelas ditemukan pada rongga mulut. Kadangkala gejala ditandai dengan limpadenopati, tidak mau makan, kelemahan, demam dan sepsis. Pemphigus foliaceus biasanya menyerang telinga dan wajah. Gejala awal ditandai dengan depigmentasi pada palatum nasale, celah pada dorsal mulut, periokular dan telinga, gatal, rasa sakit dan kelemahan tubuh dapat ditemukan pada kasus-kasus tertentu.
DIAGNOSA
Pemeriksaan darah yang menunjukkan adanya radang dapat diduga sebagai gangguan autoimun. Misalnya, pengendapan laju eritrosit (ESR) seringkali meningkat, karena protein yang dihasilkan dalam merespon radang mengganggu kemampuan sel darah merah (erythrocytes) untuk tetap ada di darah. Sering, jumlah sel darah merah berkurang (anemia) karena radang mengurangi produksi mereka. Tetapi, radang mempunyai banyak sebab, banyak diantaranya yang bukan autoimun. Dengan begitu, dokter sering mendapatkan pemeriksaan darah untuk mengetahui antibodi yang berbeda yang bisa terjadi pada orang yang mempunyai gangguan autoimun khusus. Contoh antibodi ini ialah antibodi antinuclear, yang biasanya ada di lupus erythematosus sistemik, dan faktor rheumatoid atau anti-cyclic citrullinated peptide (anti-CCP) antibodi, yang biasanya ada di radang sendi rheumatoid. Tetapi antibodi ini pun kadang-kadang mungkin terjadi pada orang yang tidak mempunyai gangguan autoimun, oleh sebab itu dokter biasanya menggunakan kombinasi hasil tes dan tanda dan gejala orang untuk mengambil keputusan apakah ada gangguan autoimun.
PENGOBATAN
Pengobatan memerlukan kontrol reaksi autoimmune dengan menekan sistem kekebalan tubuh. Tetapi, beberapa obat digunakan reaksi autoimmune juga mengganggu kemampuan badan untuk berjuang melawan penyakit, terutama infeksi.
Obat yang menekan sistem kekebalan tubuh (imunosupresan), seperti azathioprine, chlorambucil, cyclophosphamide, cyclosporine, mycophenolate, dan methotrexate, sering digunakan, biasanya secara oral dan seringkal denganjangka panjang. Tetapi, obat ini menekan bukan hanya reaksi autoimun tetapi juga kemampuan badan untuk membela diri terhadap senyawa asing, termasuk mikro-jasad penyebab infeksi dan sel kanker. Kosekwensinya, risiko infeksi tertentu dan kanker meningkat.
Sering, kortikosteroid, seperti prednison, diberikan, biasanya secara oral. Obat ini mengurangi radang sebaik menekan sistem kekebalan tubuh. KortiKosteroid yang digunakan dlama jangka panjang memiliki banyak efek samping. Kalau mungkin, kortikosteroid dipakai untuk waktu yang pendek sewaktu gangguan mulai atau sewaktu gejala memburuk. Tetapi, kortikosteroid kadang-kadang harus dipakai untuk jangka waktu tidak terbatas.
Ganggua autoimun tertentu (misalnya, multipel sklerosis dan gangguan tiroid) juga diobati dengan obat lain daripada imunosupresan dan kortikosteroid. Pengobatan untuk mengurangi gejala juga mungkin diperlukan. Etanercept, infliximab, dan adalimumab menghalangi aksi faktor tumor necrosis (TNF), bahan yang bisa menyebabkan radang di badan. Obat ini sangat efektif dalam mengobati radang sendi rheumatoid, tetapi mereka mungkin berbahaya jika digunakan untuk mengobati gangguan autoimun tertentu lainnya, seperti multipel sklerosis. Obat ini juga bisa menambah risiko infeksi dan kanker tertentu.
Obat baru tertentu secara khusua membidik sel darah putih. Sel darah putih menolong pertahanan tubuh melawan infeksi tetapi juga berpartisipasi pada reaksi autoimun. Abatacept menghalangi pengaktifan salah satu sel darah putih (sel T) dan dipakai pada radang sendi rheumatoid. Rituximab, terlebih dulu dipakai melawan kanker sel darah putih tertentu, bekerja dengan menghabiskan sel darah putih tertentu (B lymphocytes) dari tubuh. Efektif pada radang sendi rheumatoid dan dalam penelitain untuk berbagai gangguan autoimun lainnya. Obat lain yang ditujukan melawan sel darah putih sedang dikembangkan.
Plasmapheresis digunakan untuk mengobati sedikit gangguan autoimun. Darah dialirkan dan disaring untuk menyingkirkan antibodi abnormal. Lalu darah yang disaring dikembalikan kepada pasien. Beberapa gangguan autoimun terjadi tak dapat dipahami sewaktu mereka mulai. Tetapi, kebanyakan gangguan autoimun kronis. Obat sering diperlukan sepanjang hidup untuk mengontrol gejala. Prognosis bervariasi bergantung pada gangguan.